Setelah
mencari info, melihat jadwal kosong, dan menahan laju pengeluaran sehari-hari
selama kurang lebih 2 minggu, akhirnya cita-cita jangka pendek dapat
direalisasikan, yakni jalan-jalan ke Candi Cetho dan Candi Sukuh, serta
Tawamangu.
Beruntung
sekali dalam perjalanan kali ini, saya punya teman yang tinggal di Solo,
Karanganyar, dan pernah kuliah di UNS. Sehingga, perencanaan perjalanan bisa
lebih detail.
Perjalanan kali ini cukup
menantang, karena selain kondisi Dudung (motor mio, red) yang kurang prima,
juga jalanan Jogja – Tawamangu yang membingungkan. Membingungkan karena harus
melewati Kota Solo yang jalannya kebanyakan satu arah dan antar satu bangunan
dan bangunan lain persis sama (bangunan tua, red). Sebagai info, dalam solo travelling, saya lebih senang bertanya
kepada masyarakat sekitar, dibandingkan menggunakan GPS. Ada feelnya. Bisa berinteraksi dan tidak jarang
mendapatkan info-info tambahan, seperti lokasi yang harus dikunjungi, jalan
pintas, dan sebagainya.
Perjalanan dimulai jam 6 pagi
lewat. Saya berangkat berdua dengan teman kampus yang berdomisili Karanganyar.
Tujuan pertama dari Jogja adalah warung makan di Klaten yang menjual Lethok.
Sayang seribu kali sayang, ketika sampai, warung tersebut ternyata telah
pindah. Niat makan Lethok terpaksa diurungkan. Oleh karena itu, destinasi
sarapan berpindah, menjadi Warung Poek-We, yang terkenal murah dikalangan
teman-teman yang kuliah di UNS. Kembali, sayang seribu kali sayang. Poek-We
belum buka. Walhasil, hanya bisa mengambil foto, sambil menghiraukan perut yang
sudah keroncongan.
Setelah Poek-We gagal ‘dicicipi’,
saya kemudian mengantarkan teman kampus ke rumahnya. Setibanya disana,
alhamdulillah dikasih makan dengan menu yang bervariasi. Bisa perbaikan gizi
dan menghemat travelling cost.
Setelah 40-50 menit, saya pamit untuk melanjutkan perjalanan. Sedikit
buru-buru. Agar tiba di Candi Cetho tidak mepet dengan Sholat Jumat.
Saya kembali memasuki jalur utama
Jogja à
Solo à
Karanganyar à Tawamangu. Perjalanan cukup
monoton. Lurus terus, terus lurus. Hanya sedikit belokan. Untuk mencari
hiburan, terpaksa menguji ketahanan Dudung. Dipaksa lari lebih dari 80 km/jam.
Ternyata, usia mesin tidak bisa dibohongi. Dudung seringkali ngorok. Spidometer
pun tetap bertahan di angka 80km/jam.
Perjalanan yang monoton perlahan
menjadi seru. Jalanan semakin menanjak. Tak berapa lama, saya tiba di Stasiun
Karangpandan. Melihat papan penunjuk arah, semangat kembali terpompa. Ternyata,
sudah dekat. Candi Cetho dan Candi Sukuh hanya 12 km lagi. Tawamangu juga tidak
jauh. Sesuai rencana, keseluruhan lokasi wisata ini dapat dikunjungi dalam 1
hari.
Berbelok kiri dengan senyuman.
Jalanan tidak monoton seperti sebelum-sebelumnya. Berkelok-kelok, naik turun,
turun naik. Semakin lama perjalanan, kesejukan udara semakin terasa. Kaca helm
di angkat. Menarik nafas dalam-dalam, merasakan kelembutan udara, serta menyaksikan perkebunan teh yang elok. Sungguh
nikmat.
Rasa nikmat terusik oleh sesak
buang air kecil. Sungguh sial. Terpaksa memacu Dudung lebih cepat. Tidak lagi
memperhatikan perkebunan teh. Fokus hanya pada toilet umum. Sudah diujung.
Sudah hampir tidak bisa ditahan.
Sampai juga di tempat pembayaran
masuk Candi Cetho. Di belakang loket ada toilet. Dan lagi-lagi sial. Air di
toiletnya habis. Bisa bayangkan, menahan sesak buang air kecil di udara yang
dingin dan jalanan naik turun berkelok-kelok. Sangat tidak enak. Meskipun
begitu, naluri mahasiswa fakultas pertanian tetap tidak luntur. Sesak buang air
tiba-tiba tidak terpikirkan, karena melihat ibu-ibu pemetik teh. Mereka
terlihat bahagia. Mengobrol satu sama lain. Memperhatikan teh-teh hasil petikan
di dalam karung-karung.
Balik lagi ke problematika buang
air.
Saya tanya ke penjaga loket, dimana
toilet terdekat. Si ibu menjawab, tidak jauh lagi, hanya beberapa ratus meter.
Baiklah. Dudung kembali dipacu. Tak memperdulikan suara ngorok akibat jalanan
yang menanjak. Tiba juga di toilet umum. Parkirkan Dudung. Tanpa kunci stang.
Lari menuju toilet. Akhiiirnyaaaa, legaaaaa. Keluar toilet pun dengan bahagia.
Toilet umum ini terletak persis di
gerbang pintu masuk Candi Cetho. Untuk toiletnya, tidak ada tarif, cukup bayar
seikhlasnya. Kalau tidak ikhlas membayar, ya doakan saja si pengelola toilet
untuk ikhlas tidak dibayar. Hahaha.
Dari gerbang Candi Cetho, jalanan
berpasir dan menanjak cukup tajam, serta sempit. Jarak pandang juga tipis.
Penuh dengan kabut pada waktu saya datang. Untuk yang tidak mahir mengendarai
kendaraan, disarankan untuk memikirkan poin-poin tersebut. Terlihat sepele,
tapi jika tidak hati-hati, bisa terpleset dan jatuh.

Tidak sampai 15 menit, saya sampai
di parkiran Candi Cetho. Disambut kabut yang cukup tebal. Sebelum memasuki
candi, bayar tiket masuk dan mengenakan kain kampuh.

Selanjutnya, memasuki Candi Cetho
yag terdiri dari berbagai tingkat
Menaiki Tangga (Ketika berkabut dan
tidak berkabut)
Setelah menaiki susunan tangga
kedua

Halaman candi

(A) Setelah menaiki susunan
tangga setelah halaman

(B) Setelah menaiki susunan
tangga setelah (A)
(C) Setelah menaiki susunan tangga setelah (B)

Untuk menikmati Candi Cetho ini dibutuhkan kesabaran, khususnya jika ingin mengambil foto. Meskipun kabut tebal, beberapa menit sekali, kabut tersebut akan naik, sehingga pemandangan menjadi sangat jelas. Dan merupakan waktu yang tepat untuk mengambil foto. Akan tetapi, karena saya tidak sesabar itu, dan sudah mendekati waktu sholat jumat, maka saya mengakhiri kunjungan ke Candi Cetho.
Di sekitaran Candi Cetho (di kawasan puncak), tidak ada mesjid. Mesjid terdekat ada di wilayah perkebunan teh. Hanya berjarak beberapa kilometer.
Usai Candi Cetho, saatnya ke Candi Sukuh. Kedua candi ini tidak searah. Ibarat kata, kalau Candi Cetho ke kiri, Candi Sukuh ke kanan. Sebelum itu, saya teringat pesan teman kampus untuk nongkrong dan minum teh di suatu tempat --dengan pemandangan perkebunan teh yang elok-- di Kemuning. Saya tanya ke teman kampus, untuk memastikan nama dan lokasi. Ndoro Dongker, terletak dekat dengan mesjid tempat saya sholat jumat. Setelah mendatangi dan melihat langsung, ternyata tidak cocok dengan kepribadian saya yang rendah hati tidak sombong dan suka menabung alias uangnya pas-pasan. Hahahaha. Saya tidak sempat parkir dan melihat price list. Cukup dengan melihat dari luar, sudah tau kalau Ndoro Dongker bukan tempat yang tepat, untuk anggaran yang pas—pasan dan solo traveller seperti saya.
Hidup harus terus berlanjut. Tetap sesuai rencana. Perjalanan ke Candi Sukuh tidak sesulit yang dibayangkan, apalagi jika dibandingkan dengan Candi Cetho. Jalannya lebar dan tidak berpasir, serta kabutnya tidak setebal di Candi Cetho. Bahkan, ketika saya datang, kondisinya sedang terang benderang.
Parkirkan motor. Bayar tiket masuk. Pengunjung di Candi Sukuh tidak seramai Candi Cetho. Ketika saya datang, pengunjung yang ada berasal dari negara lain. Mereka (turis mancanegara, red) memperhatikan dengan seksama candi dan penjelasan dari tour guidenya. Kalau saya, cukup menikmati udara segar, hangatnya mentari, dan jeprat jepret mengabadikan momen.

Teras pertama. Gapura Utama
Teras kedua.

Bangunan utama.


Patung-patung



Pemandangan dari Candi Sukuh
Hujan perlahan turun. Ini pertanda bahwa saya harus ke dunia air. Mana
lagi kalau tidak air terjun. Hahaha.
Usai jeprat jepret Candi Sukuh, saya putuskan untuk mengunjungi Air Terjun
Jumog. Waktu tersedia masih banyak. Sebelum berangkat, beli some dulu, untuk
mengisi perut. Hanya cukup untuk mengisi perut, karena soal rasa, hambaaar.
Perjalanan menuju Air Terjun Jumog terkesan biasa-biasa saja. Karena
sebelumnya sudah menyaksikan berbagai keindahan dari Candi Cetho dan Candi
Sukuh.
Parkirkan motor. Bayar tiket masuk. Dan tiba saatnya menuruni 116 anak
tangga. Keep calm and carry on.

No problemo, jika hanya menuruni 116 anak tangga. Permasalahannya adalah
ketika telah sukses menuruni tangga ke-116. Sempat melihat sekitar, ada water park dan aliran air. Sempat
bertanya-tanya, lah kok air terjunnya
cuma begini doang. Ini air terjun apa aliran air begini aja. Atau malah water
park. Perasaan kecewa sempat muncul. Maklum, kan baru dateng, trus udah
ekspektasi tinggi mau melihat air terjun.
Namun tak berapa lama, sang pencerah muncul. Seorang pedagang dengan
baiknya menjelaskan arah menuju air terjun. Dan beliau sempat tertawa, ketika
tau bahwa saya mengira aliran air tersebut adalah air terjun. Bu...bu..bu, saya juga ketawa kepada diri
saya.
Para pedagang bolak balik memanggil saya untuk mampir. Namun, karena saya
bukan lelaki panggilan, saya acuhkan. Hahahaha. Saya cukup membalas dengan
senyuman. Senyum kalau sebenernya laper. Tapi sadar bahwa makan di lokasi
wisata adalah hal yang paling beresiko. Khususnya untuk orang yang yang
rendah hati tidak sombong dan suka menabung alias uangnya pas-pasan
Akhirnya tiba. Jumog di depan mata. Tempatnya adem. Bersih. Bahaya banget
bagi para galauers untuk kesini. Seharusnya ada papan larangan, kalau orang
galau dilarang mengunjungi Jumog. Bisa tersendu-sendu. Hahahaha.
It’s time to capture the moment.

Selesai sudah serangkaian kunjungan candi-candi dan dunia air. Saatnya
menuju Tawamangu. Kali ini bukan untuk melihat Grojogan Sewu, melainkan untuk
membeli molen khas. Tidak seperti molen lainnya. Molen yang dijual di pasar
Tawamangu dikasih gula putih halus. Untuk rasa gorengan, sama aja. Yang beda ya
karena ada gula putih.
Selesai beli molen dan titipan teman-teman kampus. Saatnya naik sedikit
lagi. Tujuannya adalah sup buntut Bu Ugi. Teman kampus bilang rasanya enak, dan
untuk harga lumayan mahal. It is okay.
Pengeluaran makan sudah berhasil ditekan (numpang makan, red). Sehingga alokasi
anggaran punya ruang yang cukup besar. Lagian, mumpung di dataran tinggi,
makanan yang berkuah adalah pilihan yang tepat.
Memang benar. Untuk rasa, enak dan seger. Tapi ada juga yang salah.
Harganya bukan lumayan, tapi mahal. Hahahaha. Bayar Rp. 30.000, dibalikin
2.000.
Selesai sudah kunjungan
candi-candi, dunia air, dan kuliner. Saatnya pulang. Seperti pada umumnya,
perjalanan pulang akan terasa lebih cepat dibandingkan pergi. Menurut
pengamatan pribadi, ini dikarenakan ketika pergi, tidak tau arah. Sedangkan
ketika pulang sudah paham.
Di tengah perjalanan, tepatnya
sehabis maghrib, Karanganyar mulai gerimis sendu. Tidak masalah. Lanjutkan
perjalanan. Jalan lebih jauh, ternyata hujannya keroyokan. Selain air juga
angin kencang. Si Dudung berulang kali terhempas. Akhirnya memutuskan untuk
berteduh sejenak.
Hujan sudah reda, angin kembali
normal. Sebelum menuju Jogja mampir dulu ke Solo, tepatnya ShiJack. Sebuah
warung tenda yang menjual susu sapi dan berbagai makanan. Saya pesan STMJ dan
pisang owol. Cukup ampuh menghadirkan kehangatan di tengah suasana yang dingin.
Dan untuk sesi ini, alhamdulillah dibayari oleh teman yang berdomisili Solo
(ketika sampai di Shijack, teman saya menyusul).
Benar-benar perjalanan yang efisien
dan efektif. J
0 komentar:
Posting Komentar