Mogok
Nasional: Serikat Pekerja dan Pengaruhnya
Oleh:
Abi
Pratiwa Siregar
Saat ini, kita ketahui bahwa selain #PAPAMINTASAHAM,
isu nasional yang tidak kalah penting adalah mogok nasional. Dilansir dari smeaker.com bahwa aksi mogok nasional
diilakukan oleh sekitar 4-5 juta buruh/pekerja dari berbagai organisasi dan 22
provinsi di seluruh Indonesia, yang berlangsung selama 4 hari hingga 27
November 2015. Terdapat tiga tuntutan yang diajukan, yaitu: (1) pencabutan PP
No. 25/2015, (2) membatalkan penetapan formula kebijakan upah, dan (3)
menaikkan upah pekerja 2016 sebesar 25 persen.
Mogok
nasional dapat terselenggara karena hadirnya serikat buruh/serikat pekerja,
yang menurut maksud dan tujuannya adalah: (1) melindungi, membela hak dan kepentingan
pekerja, memperjuangkan perbaikan upah, dan kondisi kerja, (2) melindungi
pekerja terhadap ketidakadilan dan diskriminasi, (3) memperbaiki kondisi kerja
dan melindungi lingkungan kerja, (4) mengupayakan agar manajemen mendengarkan
suara pekerja sebelum membuat keputusan, dan (5) mencegah terjadinya Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) (Budiarti, 2008).
Borjas
(2008) mengatakan bahwa keputusan seorang pekerja untuk bergabung dalam serikat
pekerja ditentukan dari apakah dengan bergabung tersebut akan terjadi kenaikan
tingkat upah atau justru malah sebaliknya. Seorang pekerja tentu akan bergabung
apabila tingkat upah dapat lebih tinggi jika dibandingkan dengan tidak
bergabung. Karena dengan naiknya tingkat upah, maka kepuasaan pekerja tersebut
akan meningkat. Hal ini diilustrasikan pada gambar 1 di bawah.
Gambar 1.
Keputusan Bergabung dengan Serikat Pekerja
Di
asumsikan bahwa seorang pekerja sebelum adanya serikat pekerja mendapatkan upah
sebesar w*. Pada tingkat upah tersebut, budget
line dari pekerja adalah AT. Pekerja tersebut akan memilih kombinasi kerja-leisure yang menghasilkan kepuasaan
optimum, yakni di titik P (dimana indifference
curve bersinggungan dengan budget
line). Oleh karena itu, kepuasaan maksimum terjadi ketika bekerja selama h*
(T – L*) dan leisure selama L*.
Apabila
terdapat serikat pekerja -dimana salah satu tujuannya adalah meningkatkan upah
(misalkan, dari w* ke wu)-, maka budget
line akan bergeser menuju BT.
Tentu
saja, tidak ada yang benar-benar gratis di dunia ini. Setiap tindakan
melahirkan konsekuensi. Setiap insentif pasti ada tanggung jawab yang harus
dipenuhi. Begitu juga halnya dengan kenaikan tingkat upah yang diajukan oleh
serikat pekerja. Dengan naiknya tingkat upah, maka akan terjadi pengurangan
jumlah jam kerja yang digunakan oleh perusahaan. Di asumsikan; Pertama, kurva permintaan tenaga kerja
bersifat elastis. Respon perusahaan dengan kenaikan tingkat upah adalah
mengurangi jumlah jam kerja, katakanlah dari semula h* menjadi h0,
maka titik kepuasaan berpindah dari P ke P0. Artinya, tingkat
kepuasaan mengalami penurunan, karena indifference
curve berpindah dari U ke U0. Oleh sebab itu, jika hal ini yang
terjadi, maka seorang pekerja akan memutuskan untuk tidak bergabung. Kedua, jika kurva permintaan tenaga
kerja bersifat inelastis, maka penurunan jumlah jam kerja yang digunakan lebih
kecil dibandingkan kenaikan tingkat upah. Misalkan dari h* ke h1.
Apabila ini yang terjadi, maka dengan adanya serikat pekerja, tingkat kepuasaan
pekerja akan naik (ditunjukkan oleh indifference
curve yang lebih tinggi (U1 > U)). Oleh sebab itu, pekerja
akan memilih untuk bergabung.
Pengaruh Serikat Buruh/Pekerja terhadap Tingkat Upah
McConnell,
et., al (2003) menyatakan bahwa
serikat pekerja dapat mempengaruhi tingkat upah pada pasar tenaga kerja tanpa
serikat pekerja (nonunion labor markets).
Berikut ini dijelaskan beberapa pengaruh serikat pekerja terhadap upah
non-serikat pekerja dan juga terhadap kualitas tenaga kerja pada serikat
pekerja itu sendiri.
1.
Spillover
Effects
Spillover effects
mengacu pada penurunan tingkat upah non-serikat pekerja akibat dari adanya
pekerja dalam serikat pekerja yang ‘terlantar’. Semakin tingginya tingkat upah
pada sektor serikat pekerja, akan diikuti dengan semakin besarnya kesempatan
kehilangan pekerjaan, dan pekerja yang kehilangan pekerjaan tersebut akan
‘membanjiri’ pasar tenaga kerja non-serikat pekerja, yang kemudian menurunkan
tingkat upah yang berlaku.
Fundamental
dari Spillover effects ditunjukkan
pada gambar 2. Di asumsikan bahwa kedua sektor pada awalnya adalah non-serikat
pekerja, sehingga tingkat upah yang terjadi di adalah sama, yakni Wn. Lalu,
sektor pertama menjadi sektor serikat pekerja, sehingga tingkat upah meningkat
dari Wn ke Wu. Akibatnya terjadi pengangguran sebesar Q1
– Q2.. Spillover effect
memiliki asumsi bahwa sebagian atau seluruh pengangguran tersebut akan mencari
dan menemukan pekerjaan di sektor non-serikat pekerja. Pergerakan dari
pengangguran tersebut akan menyebabkan terjadinya peningkatan labor supply. Sehingga tingkat upah
menurun dari Wn menjadi Ws.
Gambar 2. Spillover Effect dan Threat Effect
2.
Threat
Effect
Threat effect
mengacu pada peningkatan upah non-serikat pekerja sebagai respon terhadap
ancaman serikat pekerja. Alasannya adalah pengusaha di sektor non-perserikatan
merasakan peningkatan ancaman dengan adanya kenaikan upah yang ada di sektor
perserikatan. Atas dasar hal tersebut, pengusaha akan meningkatkan upah sebagai
insentif terhadap pekerja di sektor non-perserikatan.
3. Other Effect
Selain Spillover
effects dan Threat effect, masih
terdapat pengaruh lain dari berlakunya kenaikan upah oleh adanya perserikatan
pekerja, yakni Product effect. Product effect menunjukkan terjadinya
kenaikan tingkat upah di sektor non-perserikatan sebagai akibat menurunnya
permintaan produk di sektor perserikatan, karena produk-produk yang relatif
mahal, sementara di sektor non-perserikatan harga-harga produk relatif murah
karena biaya produksi yang relatif rendah.
Wait unemployment.
Jika sebelumnya dijelaskan bahwa pada Spillover
effects, pekerja yang kehilangan pekerjaan akibat kenaikan upah akan
‘membanjiri’ sektor non-perserikatan, beda halnya dengan wait unemployment. Kenaikan upah akan menyebabkan pekerja
kehilangan pekerjaan, namun mereka tidak akan mencari pekerjaan di sektor
non-perserikatan, dimana upah yang berlaku relatif rendah. Pilihan utamanya
adalah menunggu dengan harapan akan dipanggil/diperkerjakan kembali. Jika
asumsi ini yang terjadi, maka tingkat upah di sektor non-perserikatan tidak
akan ada perubahan.
Superior-worker effect. Jika sebelumnya ditinjau
dari pekerja, maka kali ini dari sisi pengusaha/pemberi pekerjaan. Dengan
adanya upah yang relatif tinggi pada sektor perserikatan, dan adanya
pengangguran, maka ini menjadi keuntungan bagi perusahaan untuk dapat
menseleksi secara ketat para pekerja yang akan dipekerjakan. Mulai dari
kemampuan, keahlian, dan lainnya. Ini menunjukkan bahwa, perusahaan di sektor
perserikatan lebih mampu untuk mendapatkan pekerja yang berkualitas jika
dibandingkan dengan perusahaan di sektor non-perserikatan.
Monopoli
Perserikatan
Para ahli ekonomi mengasumsikan bahwa kepuasaan serikat
pekerja tergantung pada tingkat upah dan
banyaknya pekerjaan yang disediakan. Oleh sebab itu, untuk menunjukkan tingkat
kepuasaan serikat pekerja sama halnya ketika sedang membahas konsumsi individu,
yakni melalui indifference curve.
Meskipun tujuan utama perserikatan adalah memaksimumkan
kepuasan melalui tingkat upah dan banyaknya pekerjaan yang disediakan, hal ini
tetap saja memiliki batasan, yakni perilaku perusahaan. Perusahaan memiliki
kurva permintaan dari kiri atas ke kanan bawah (downward sloping) yang menggambarkan seberapa banyak pekerja yang
ingin dipekerjakan oleh perusahaan tersebut pada berbagai tingkat upah.
Gambar 3. Perilaku dari
Monopoli Perserikatan
Upah yang
berlaku di pasar, pada awalnya berada pada w*. Tanpa adanya serikat pekerja,
perusahaan mampu memperkerjakan pekerja sebanyak E*. Ketika adanya serikat pekerja, mereka meminta
kenaikan tingkat upah dari w* ke wM, namun perusahaan merespon
dengan mengurangi jumlah tenaga kerja yang diminta dari E* ke EM.
Model yang diilustrasikan melalui gambar 3 biasa disebut sebagai monopoli
perserikatan –perserikatan menentukan tingkat upah yang dikehendaki.
Melalui model ini, dan seperti
yang telah dijelaskan juga sebelumnya, bahwa dengan adanya serikat pekerja yang
menuntut kenaikan upah, maka perusahaan akan mengurangi jumlah tenaga kerja
yang diminta, sehingga menimbulkan pengangguran. Meskipun begitu, pengaruh
besarnya kenaikan tingkat upah terhadap timbulnya pengangguran akan didasari
oleh sifat dari kurva permintaan tenaga kerja oleh perusahaan. Jika
elastis, maka akan terjadi skema seperti
yang telah disebutkan sebelumnya, yakni w* ke wM dan E* ke EM.
Namun apabila kurva inelastis, maka serikat pekerja dapat meminta kenaikan
tingkat upah yang lebih tinggi, dan kepuasaan akan ‘lompat’ dari U ke U’ karena
jumlah tenaga kerja yang dikurangi tidak begitu banyak.
Slot machines online for free at Casinoland.jp
BalasHapusCasinoland is クイーンカジノ a Japanese online casino and gaming site. It offers over fun88 soikeotot 1000 games and カジノ シークレット over 400 casino games from the best provider at the