Menulis. Menyebarkan. Saling menginspirasi.

Kenikmatan Mendaki Gunung Merapi

Selalu ada hal menantang dan menarik yang menunggu pada setiap perjalanan….

Siapa yang tidak tau Gunung Merapi, khususnya bagi mereka yang sudah menikmati keindahan Jogja, baik sebagai pelajar, pelancong, terlebih lagi penduduk setempat. Bagi warga Jogja, Gunung Merapi bahkan dijadikan salah satu acuan arah mata angin. Kamu tidak perlu heran, ketika bertanya suatu alamat, yang ditunjukkan bukan kapan harus belok kanan, dimana belok kiri. Justru, jalan ke arah barat, timur, utara, atau selatan. Nah, arah utara ini patokannya adalah Gunung Merapi. Ini kearifan lokal yang adaptif banget, pada awalnya kamu bingung, lama kelamaan kamu menikmati dan paham kemana arah mata angin itu dapat membawamu.

Gunung Merapi, yang jika cuaca cerah, keindahannya sungguh menyenangkan dan menenangkan. Tanpa awan yang menyelimutinya, kamu terasa dekat, meskipun kenyataannya, puluhan kilometer jauhnya. Tapi bagaimana rasanya jika kamu benar-benar tanpa jarak? Bisa berada di sisi lereng, jalur pendakian, atau bahkan mencapai puncaknya? Ini adalah pertanyaan yang akhirnya mendorong saya untuk mencari tau dan merasakannya langsung.

Januari 2017, sedikit demi sedikit tanda tanya itu mulai terjawab. Beberapa teman yang tergabung di Komunitas Akar Rumput hendak mendaki gunung, dan saya mengajukan diri untuk ikut. Dengan segala pengalaman yang telah mereka miliki, tentu saja amatiran ini mempunyai segudang pertanyaan. Apa aja yang perlu dipersiapkan, di gunung itu dingin aja atau dingin banget, tindakan apa aja yang dilarang, dan masih banyak lagi. Yah seperti itulah kalau sudah berpengalaman, harus siap menyediakan jawaban bagi petualang baru.

Cuaca di Jogja pada bulan Januari 2017 bisa dikatakan labil, hari ini hujan tapi besok cerah. Pagi sampai siang cerah, menjelang sore hujan deras hingga malam tiba. Tidak perlu mahir dalam pendakian gunung untuk mengerti bahwa kenyamanan adalah suatu yang sulit dicari ketika mendaki gunung dalam keadaan hujan,

Dengan segala pertimbangan, teman-teman yang sudah berpengalaman mendaki gunung memilih Merapi sebagai destinasi mereka selanjutnya, namun bagi saya adalah pendakian pertama dalam seumur hidup. Sebuah gunung dengan ketinggian 2.930 mdpl, suhu yang beragam di musim kemarau dan musim hujan. Dan masih banyak lagi hal-hal yang benar-benar baru saya pahami.

Pernah dengar hipotermia? Gejala yang bisa dibilang banyak menyerang para pendaki gunung. Hipotermia sendiri adalah suatu kondisi dimana tubuh sulit untuk menyesuaikan suhu dingin. Fakta tersebut membuat saya khawatir, jika secara tidak sadar adalah penderita hipotermia. Harap maklum, tiupan air conditioner (AC) aja udah berhasil buat flu dan kedinginan. Padahal suhu yang diatur berkisar 24oC, gimana lagi di gunung yakan, suhunya pasti lebih rendah. Untuk mengatasinya, saya disarankan jogging di pagi hari. Jadilah setiap hari jam 06-07 lari keliling GSP UGM, dan diakhiri dengan naik turun tangga. Intinya, buat badan menjadi terbiasa udara dingin, dan secara tidak langsung juga meningkatkan stamina.

Selanjutnya, mempersiapkan alat perlengkapan seperti carrier, kompor portable, matras, tenda, sepatu, celana, jas hujan, senter, dan lain-lain. Beruntungnya ada di Jogja adalah banyak banget jasa sewa alat perlengkapan yang disebutkan sebelumnya. Harga bersaing, jadi customer bisa memilih dengan leluasa. Menyesuaikan budget dengan kualitas yang diharapkan.


Alat perlengkapan sudah sesuai dengan yang dibutuhkan. Logistik selama perjalanan dan pendakian sudah dibeli. Selanjutnya adalah packing. Packing yang sama sekali tidak biasa. Bukan hanya sekedar taruh barang A di bawah, B di atas, C diselempetin, D digulung, dan seterusnya. Pertama-tama kamu harus masukkan matras yang telah digulung dan gulungannya dirapikan langsung di dalam carrier. Dengan begitu, sisi kanan kiri bagian dalam carrier dapat tegak, dan ada ruang di bagian tengah untuk memasukkan barang-barang lain. Ohya, utamakan barang yang berat atau barang yang tidak perlu segera dipakai untuk posisi paling bawah carrier, misalkan sleeping bag.

21 Januari 2017. Matahari terbit seperti biasa, dari ufuk timur. Cuaca cukup cerah sebagai modal menambah kepercayaan bahwa everything is going to be fine.



Komposisi pendakian Gunung Merapi terdiri dari 3 orang pria dan 2 orang perempuan. Satu orang amatiran, 4 orang berpengalaman. 3 motor matic.

Kami memilih untuk mendaki Gunung merapi via New Selo, Boyolali. Perjalanan dari Jogja ke basecamp di New Selo ditempuh selama 2,5 jam. Mungkin bagi orang lain, bisa lebih cepat, karena tidak perlu tersesat di jalan seperti kami hahaha.

Sebelum mencapai basecamp, saya harus paham bahwa Dudung, motor mio biru, tidak bisa mencapai basecamp jika berboncengan. Awalnya Dudung tidak apa-apa, namun karena tanjakan menuju basecamp yang curam, akhirnya Dudung menyerah dan mengorok sambil perlahan melambat, bahkan nyaris seperti mau mundur.

Basecamp untuk pendakian gunung, tak ubahnya dengan basecamp pada umumnya. Banyak orang, banyak motor, dan ada warung makan. Setelah motor di parker rapi, duduk istirahat, kemudian lanjut makan. And you know what? Rasa makanannya enak banget. Nasi kuning potongan tempe dan beberapa ayam. Sedikit menyesal kenapa gak minta dibungkusin nasi yang lebih banyak, tambah lauk hahaha. Karena ternyata perjalanan Jogja – New Selo, ditambah lagi cuaca dingin di Basecamp sukses menaikkan minat makan.

Pendakian dimulai. Langsut disambut dengan tanjakan yang boleh dibilang cukup menantang. Meskipun baru saja berjalan, rasanya ingin kembali ke basecamp hahaha.
Motor bolak balik melewati kami yang sedang berjalan. Jadi kepikiran ada apa sebenarnya di atas. Mereka tidak bawa carrier, daypack, atau tas lainnya. Malah yang perempuan bawanya tas selempang. Gak mungkin banget kan orang-orang ini mau mendaki. Eh ternyata, ada lokasi wisata. Sepertinya enak buat makan mie instan rebus sambil ngobrol santai membunuh waktu. Tapi kami, sebagai pendaki hore tidak mudah terkena godaan. Pendakian jalan terus dengan sedikit selfie.



Pelan… Pelan… Pelan

Setiap individu punya kekuatan dan kecepatannya masing-masing. Oleh karena itu, ketika naik gunung, kerjasama tim sangat dibutuhkan. Jika ada teman yang sudah lelah atau sekedar ingin istirahat, maka anggota tim lainnya, tanpa paksaan, ikut berhenti juga. And yes, saya beruntung bisa ikut dalam tim pendakian yang kerjasamanya ciamik. Meskipun sangat sering istirahat, semuanya sama-sama senang. Sesekali bahkan diiringi candaan.



Jadi saudara-saudara, kami sebagai pendaki hore bolak balik disalip oleh pendaki lain. Padahal barang bawaan mereka juga tidak kalah banyaknya. Tapi justru itu juga gak luput jadi bahan becandaan haha.

Kalau naik Gunung Merapi via New Selo, setelah dari basecamp, akan melewati perkebunan warga, dan selanjutnya disambut oleh pos bayangan. Umumnya orang-orang menempuh waktu 1 jam. Tapi karena kami sangat menikmati perjalanan, waktu tempuh sekitar 2 jam. Pos bayangan ini juga menjadi pertanda bahwa telah sampai di Gerbang Masuk Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM).  Sejauh ini, ketinggian yang telah dicapai 2.072 mdpl.



Dari gerbang masuk TGNM, selanjutnya menuju ke Pos 1, biasa dikenal Pos 1 Watu Belah. Pendakian didominasi trek berbatu dan menanjak terjal. Pos bayangan ke Pos 1 kami tempuh sekitar 2,5 jam. Waktu tempuh relatif lama dibandingkan orang lain, ini karena kami menikmati masa transisi dari siang ke sore, sambil sesekali melihat sekitar pendakian yang ternyata jurang. Tiba di pos Watu Belah, tandanya sudah mencapai ketinggian 2.302 mdpl.



Tanpa bonus. Ini adalah ungkapan yang tepat menggambarkan pendakian dari pos 1 ke pos 2. Medan yang harus dilalui adalah bebatuan dengan kemiringan yang cukup curam. Perjalanan ditempuh kurang lebih 3 jam. Di tengah perjalanan pos 1 ke pos 2, kami sempatkan diri untuk menyaksikan transisi sore hari ke malam hari. Matahari perlahan terbenam. Kemudian cahaya dari rumah-rumah mulai bermunculan. Layaknya bukit bintang. Menenangkan banget.

Sampai di pos 2, tandanya sudah berada di ketinggian 2.534 mdpl. Is this real? Tanya saya dalam hati. Bahkan saya bilang ke teman-teman, sampai di ketinggian ini aja saya sudah sangat senang. Gak disangka-sangka

Semakin malam, jarak pandang semakin pendek dan tipis, karena tertutup kabut. Kami memutuskan untuk berkemah di antara pos 2 dan Pasar Bubrah. Untuk mengindari terpaan angin gunung, kami mencari lahan yang terlindung pepohonan. Thank GOD, dapat lokasi strategis, letaknya ada di cekungan dan tertutup beberapa pohon.

Pernah ikut Pramuka ketika sekolah, ternyata belum cukup bagi saya untuk punya keahlian mendirikan tenda. Walhasil, saya bekerja mengikuti instruksi dari teman-teman.

Kerjasama tim, akan menjadi kata kunci seberapa menyenangkan pendakian. Begitu juga halnya mendirikan tenda dan menyiapkan kelengkapannya. Setiap orang punya kewajiban mensukseskannya.

Tenda berhasil didirikan. Total kami bawa 2 tenda. Satu untuk logistik, satunya lagi untuk 5 orang pendaki hore ini. Di dalam tenda, ternyata terjadi perebutan posisi tidur. Saya heran, kenapa kok teman-teman pada gak mau tidur di sudut tenda. Seakan membiarkan saya menikmati ruang yang luas itu. Ternyata oh ternyata, ketika kamu tidur di sudut tenda, yang kamu alami adalah dingin yang tidak biasa haha. Sulit dijelaskan, tapi coba aja sendiri. Ohya, jangan lupa pakai minyak kayu putih minum suplemen menolak angin.




Pagi hari tiba dengan suara kaki yang lalu lalang. Setelah mendirikan tenda, pola umum bahwa para pendaki akan menuju ke puncak gunung. Ada yang berangkatnya beberapa jam sebelum sunrise, ada juga yang tidak ingin sunrise, cukup sampai di puncak aja. Setelah tenda berdiri, barang-barang tidak perlu dibawa ke puncak. Cukup seadanya aja, seperti minum dan tas yang berisi barang-barang penting.

Jauh di dalam tenda kami, penghuninya masih menikmati tidurnya. Begitu bangun tidur, aktivitas utama adalah masak dan menyiapkan minuman hangat. Jauh dari cita-cita naik ke puncak. Memang, ketika sebelum mendirikan tenda, 5 pendaki hore ini memutuskan untuk tidak sampai ke puncak. Pendakian yang melelahkan kami balas dengan menikmati suasana di lokasi kemah, sambil menikmati makanan dan minuman hangat. Untuk melengkapi perjalanan, maka perlu ditmabah dokumentasi.



Jauh sebelum pendakian ini, saya adalah salah satu orang yang berpendapat bahwa orang-orang yang mendaki gunung itu (beberapa) hanya untuk having fun atau sekedar bisa ambil foto dengan latar belakang puncak/gunung lain. Skeptis sekali. Tapi setelah berhasil mendaki Gunung Merapi, saya jadi paham bahwa ada hal yang tidak bisa dibayar. Kenikmatan dari ketenangan alam. Pemandangan yang sulit untuk dideskripsikan, tapi indahnya tak kunjung habis.  Mengambil foto itu untuk tujuan dokumentasi, baik untuk diri sendiri maupun dibagikan kepada teman-teman.

Nikmat banget. Naik gunung itu nikmat banget. Kamu belajar bekerja sama dengan tim. Meninggalkan ego individu untuk mensukseskan tujuan bersama. Sepanjang jalan kamu disuguhi pemandangan yang duuuh indahnya. Suasana perjalanan yang tenang. Para pendaki yang memiliki jiwa kekeluargaan tinggi. Saling sapa, memberikan informasi, dan menyemangati meskipun tidak pernah kenal sebelumnya. Di dalam pendakianmu ke gunung, kamu akan sering mendengar monggo mas, monggo mbak, pos bayangan udah deket, yok semangat, dan lain-lain.


Pendakian usai, tiba saatnya untuk pulang. Hal yang perlu digarisbawahi adalah apapun yang dibawa ke atas, harus dibawa turun. Begitu juga halnya sampah makanan/minuman, tidak boleh ditinggal di atas.

Gunung Merapi kini tidak lagi sebatas patokan arah utara. Bukan juga sekedar pemandangan yang dilihat jauh dari Jalan Kaliurang. Ternyata, mendaki gunung itu buat nagih. Ditunggu destinasi selanjutnya Komunitas Akar Rumput.


Berikut itinerary perjalanan ini:
1.      Jogja – Basecamp New Selo, Boyolai : 2,5 jam
2.      Basecamp New Selo – Pos Bayangan (Gerbang Masuk TNGM) : 2 jam
3.      Pos Bayangan – Pos 1 : 2,5 jam
4.      Pos 1 – Pos 2 : 3 jam
5.      Pos 2 – lokasi kemah (sebelum Pasar Bubrah) : 1 jam



Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Juragan

Popular Posts