Cerita perjalanan Jogja – Gunung Bromo
ini kurang menarik. Dalam Cerita ini tidak ada sunrise di penanjakan 1 ataupun penanjakan 2, tidak ada pasir
berbisik, dan padang savanna. Tapi cerita ini sangat berkesan, 1 orang cowok
dan 3 orang cewek, dengan pengalaman minim dan uang yang sangat terbatas,
akhirnya bisa sampai ke tempat yang mereka inginkan, yaitu Gunung Bromo.
Cerita perjalanan ini diawali dari
cita–cita untuk pergi ke Gunung Bromo yang tak pernah terwujud, pernah
direncanain matang–matang, eh malah terlanjur busuk. Hingga suatu hari, pada
tanggal 17 Januari 2013 --bermula dari keisengan main–main di Laboratorium
Pengendalian Hayati-- saya ajak Jatu dan Valen untuk jalan–jalan ke Gunung
Bromo. Tanpa pikir panjang mereka langsung meng-iyakan.
Karena dianggap 3 orang terlalu
sedikit, kami informasikan ke teman–teman lain
(barangkali ada yang mau ikutan juga). Konfirmasi keberangkatan ditunggu sampai
jam 16.00. Setelah sms sana sini, akhirnya nambah 1 orang, yaitu Mira. Kemudian kami pergi ke Stasiun Lempuyangan
untuk membeli tiket KA Jogja – Probolinggo.
4 tiket KA sudah di tangan dengan
jadwal keberangkatan 21 Januari 2013 pukul 07.30. 17 Januari menuju 21 Januari
2013 menjadi terasa sangat lama, karena sudah tidak sabar ingin ke Gunung
Bromo. Namun, sebelum 21 Januari tiba, pada tanggal 20 Januari diadakan semacam pertemuan untuk
membahas apa aja yang akan dibawa.
Hingga akhirnya 21 Januari 2013 tiba, saya terlebih dulu ke kosan
Jatu, lalu saya dan Jatu diantarkan oleh Dewi dan Silma ke
Stasiun Lempuyangan. Setelah itu Mira nyusul, tapi karena terburu-buru, ia
meninggalkan dompetnya dikosan yang berisi KTP --Untuk masuk ke gerbong kereta
harus menggunakan kartu identitas, alhasil Mira harus ngebut balik ke kosannya--.
Kami yang menunggu lumayan deg–degan, takut kalau Mira ga bisa sampai stasiun
tepat waktu. Tapi deg–degan itu reda, karena beberapa menit sebelum kereta
berangkat, Mira sudah terlihat dari arah parkiran sambil senyum – senyum
kecapean.
Perjalanan dimulai, KA ekonomi tujuan
Probolinggo siap mengantarkan Backpacker minim pengalaman, yaitu kami. Selang beberapa jam dalam perjalanan, sungguh tidak beruntungnya. Saat itu, KA sudah sampai di Stasiun Gubeng, Surabaya, tapi ternyata ada rel yang anjlok, akhirnya perjalanan terhenti dan baru bisa dilanjutkan setelah
2 jam lebih.
Belum berhenti disitu, ketidakberuntungan lain yang datang adalah
aroma semriwing dari kamar mandi yang semakin menguap membahana karena panas
sangat menusuk hidung penumpang KA yang duduk di dekat toilet tersebut,
termasuk kami.
Kalau dirumuskan, boleh jadi seperti ini, KA berhenti 2 jam +
Panas + Toilet = aroma semriwing menusuk hidung.
Akhirnya sampai lah kami di Stasiun Probolinggo, waktu tiba meleset lebih
dari 3 jam. Begitu turun dari KA, sudah banyak bapak–bapak yang menawarkan
jasa, baik itu ojek, becak, taksi, dan, dan, dan, bis ke Cemoro Lawang.
Sebelum
melakukan negosiasi ke Cemoro Lawang, kami mengobrol dengan 2 turis asing (berasal
dari Barcelona) tentang bagaimana mereka berangkat ke Cemoro Lawang. Setelah
mendengarkan penjelasan mereka, ternyata kami tidak bisa bareng, karena
penyedia jasa (travel, Red) menetapkan harga yang jauh lebih tinggi untuk turis
asing tersebut, dan tentu aja dengan fasilitas yang berbeda.
Di sudut ruang stasiun itu juga
terdapat turis lain yang juga ingin ke Cemoro Lawang, kali ini bukan berasal
dari Barcelona ataupun wilayah di Eropa lainnya, melainkan dari Jogja a.k.a
turis lokal. Mereka berangkat segerombol, kurang lebih ada 17 orang, 11 dari
UGM dan 6 dari UNY. Penyedia jasa menawarkan tarif spesial kepada mereka, yakni
Rp 50.000/orang untuk pulang pergi (Stasiun – Cemoro Lawang, Cemoro Lawang –
Stasiun). Mendengar hal itu, kami menjadi tertarik untuk ikutan, berhubung
angkutan ke Cemoro Lawang juga sudah tidak ada lagi. Tarif kami berbeda, harus membayar Rp
35.000/orang untuk pergi ke Cemoro Lawang, karena untuk pulangnya kami tidak
menggunakan jasa yang sama.
Perjalanan Stasiun Probolinggo ke Cemoro Lawang
ditempuh selama kurang lebih 2 jam (ditengah jalan berhenti untuk beli minum dan ambil uang di ATM). Setelah tiba di Cemoro Lawang, kernet
supir menawarkan sebuah guest house,
namun pemilik guest house sedang
tidak ditempat. Kemudian kami beralih ke guest
house lainnya, kali ini kami ditawari tarif Rp 850.000 per malam untuk 21
orang. Namun, sebagai seorang mahasiswa yang berjiwa nasionalis dan tak akan mundur
sebelum berperang, akhirnya didapatkan harga tengah, yaitu Rp 650.000 setelah
negosiasi alot dan dengan sebuah catatan. Catatan itu adalah jangan beritau supir bis bahwa tarifnya turun, katakan tarif yang
berlaku adalah tarif awal. Dunia memang berisi orang–orang licin hahahaha
Malam yang dingin di Cemoro Lawang
berganti pagi yang juga tak kalah dingin. Rombongan di dalam rumah itu terbagi
menjadi 3 variasi perjalanan, kami (saya, Jatu, Valen, dan Mira) akan menikmati
Gunung Bromo dengan full jalan kaki,
sedangkan turis lokal dari UNY menikmati Gunung Bromo dengan naik jeep dengan
tarif Rp 450.000/ 6 orang, sisanya yaitu turis lokal dari UGM, saya tidak tau mereka bagaimana.
Perjalanan kaki dimulai pukul 07.00
kurang, dengan membawa semua barang bawaan baik itu tas, sleeping bag, tas kamera, dan lain sebagainya. Sebelum masuk ke
kawasan Gunung Bromo, terlebih dulu harus melalui loket tiket, per orang
dikenakan biaya Rp 6.000. Karena komposisi yang tidak seimbang, yakni 3 cewek
dan 1 cowok, berulang kali kami ditawari untuk naik ojek, namun kami tetap
keukeuh untuk terus berjalan kaki. Harga ojek yang semula Rp 30.000/2 orang
berubah drastis menjadi 10.000/ 4 orang untuk sampai ke Gunung Bromo, walaupun
begitu tetap aja kami jalan kaki.
Jalan kaki ditempuh selama lebih dari
1 jam --dari penginapan menuju Gunung Bromo--. cuaca saat itu kurang mendukung,
hujan rintik–rintik ditambah kabut yang sangat tebal menyebabkan ingus saya
meler terus dari sarangnya. Tetapi bagi yang lainnya, mereka malah asyik
joget–joget sambil jalan --Dasar cewek –
cewek tangguh hahaha--. Jeep, motor, atapun kuda bolak balik lewat, hanya
ada kami yang tetap nekat berjalan kaki.
Gambar
1. Cewek – cewek tangguh (Jatu, Mira, Valen)
Kabut menipis, jarak pandang semakin
luas, terlihat sebuah pura yang membuat semangat berjalan terpompa. Kecepatan
berjalan ditambah, hingga akhirnya dengan cepat kami sampai ke pura tersebut. Pura
itu menjadi spot pertama untuk
bernarsis ria --walaupun capek berjalan,
dalam berfoto tetap harus tampil maksimal dong hahaha--
Gambar
2. Berfoto dengan Background sebuah pura
.
Mau lanjutin ceritanyaaaaaa? Mana
suaranyaaaaa? ‘’lanjuttttttttttt’’
Gambar
3. Melanjutkan perjalanan
Setelah selesai bernarsis ria,
perjalanan menuju Gunung Bromo dilanjutkan. Kokohnya Gunung Bromo semakin
terlihat jelas --menambah semangat untuk berjalan--. Di kaki Gunung Bromo, ada
sebuah atau semacam angkringan yang menjual berbagai snack dan mie instan. Setelah berhenti di pura tadi, pemberhentian
selanjutnya ya angkringan ini, menikmati mie instan rebus/goreng untuk mengisi
perut yang belum terisi.
Perut yang sudah terisi menambah
energi untuk melanjutkan perjalanan, pemandangan yang apik membuat kami harus berulang kali berhenti untuk berfoto ria,
ditambah emang sebenarnya udah capek jalan sih @_@.
Dengan perjalanan yang meletihkan, perut kosong dan uang yang terbatas, akhirnya kami tiba di tangga Gunung Bromo, tangga yang jumlahnya sekitar
seratusan --tidak pasti berapa banyaknya
karena saya sempat lupa menghitung hehe--. Gunung Bromo pun sudah sukses
didaki --tepatnya menaiki tangga--.
Gambar
4. (ki- ka) Valen, Jatu, Mira
Seperti malu–malu menunjukkan
wajahnya, kawah Gunung Bromo hanya benar–benar terlihat jelas beberapa detik
aja. Walaupun begitu, jiwa narsis ini tak kendur, jeprat–jepret harus tetap berlanjut.
Jatu dengan foto produknya, Mira dengan candidnya, saya dengan gantengnya
hahaha, dan Valen dengan pose senyumnya.
Gambar
5. Para perindu Gunung Bromo
Pada akhirnya, hanya melihat kawah
membuat bosan, saatnya untuk pulang. Sebagaimana berangkat, begitu
pula pulang, berangkat jalan kaki, pulang juga. Untuk suasana, pulang lebih
nyaman dimata dibanding dengan berangkat. Gunung Bromo dan sekitarnya sudah terlihat
jelas, oleh karena itu kami mengambil beberapa puluh foto untuk mengenangnya. Baik itu turunan ketika berangkat, ataupun
tanjakan ketika pulang, itu sama – sama meletihkan, sehingga kami harus
berulang kali istirahat.
Jam menunjukkan pukul 15.00 kurang,
dan saat itu kami baru aja selesai menanjaki jalanan pulang. Kekhawatiran tidak
dapat angkutan pulang timbul, terpaksa mengurangi istirahat untuk segera
memastikan bisa langsung pulang atau harus menginap lagi di Cemoro Lawang. Dan
ternyataaaaaaa, taraaaaaa. . . Masih ada sebuah bis kosong yang menunggu, dengan tarif Rp 35.000/ orang dengan rute Cemoro Lawang – Terminal
Probolinggo.
Sepanjang perjalanan pulang tersebut, saya tidak tau pasti apa
yang terjadi di dalam bis. Terakhir kali yang saya ingat adalah nenek – nenek
membawa hasil panenannya ke dalam bis dan kemudian duduk, udah itu aja,
selebihnya saya tidur @_@.
Walaupun sampai di Terminal, kami
tidak langsung beli tiket. Melainkan mencoba peruntungan lain, yaitu ke stasiun
untuk membeli tiket KA. Dari terminal kami naik angkutan umum kota ke
stasiun. Ketika sedang berada di dalam angkutan terlihat bahwa kota Probolinggo sangat rapi dan bersih, warga–warganya ramah
(ngobrol di dalam angkutan), dan tidak ada pemerkosa di dalam angkutan hahaha.
Dewi Fortuna sedang tidak berpihak pada kami,
ternyata semua tiket KA selain kelas excecutive sudah habis. Karena kami adalah mahasiswa yang sosialis
dan tidak punya uang lebih, alhasil naik bis adalah satu–satunya cara untuk
bisa sampai di Jogja tanpa harus bermalam di Probolinggo.
Waktu udah malam dan ternyata zonk,
angkutan umum sudah jarang. Terpaksa duduk di depan stasiun sambil
berharap akan ada angkutan yang lewat. Tak berapa lama kemudian, dari sebrang jalan terlihat sebuah
angkutan umum melintas. Tanpa pikir panjang, saya langsung mendekat. Di dalam
angkutan tersebut ada 2 orang turis asing (ngga tau darimana) dan sepasang
orangtua, yang ternyata tujuan mereka adalah sama dengan kami, yaitu Terminal
Probolinggo.
Sampai di terminal, kami duduk
tenang menunggu bis tujuan Jogja datang. Setelah hampir setengah jam menunggu,
kami diberitau kalau bis tujuan Jogja tidak melintas di tempat kami menunggu,
melainkan dari dalam terminal (belakang terminal). Untung aja taunya sebelum bis datang, kalau ga kami bisa
ketinggalan.
Sebuah bis datang dan berhenti tepat di dekat kami, lalu Jatu memastikan apakah bis
tersebut tujuan Jogja atau bukan. Ternyata tujuan Jogja, langsung saja kami
naik ke dalam bis, dan duduk tenang kalem santai.
Pada keesokan harinya
sampailah kami di Jogja, tepatnya di Janti. Dari Janti, naik angkutan umum
untuk berhenti di dekat kampus, Fakultas Pertanian UGM.
Biaya Transportasi dan Akomodasi (per
orang):
1.
KA
Ekonomi Jogja – Probolinggo :
Rp 35.000
2.
Bis
Probolinggo – Cemoro Lawang :
Rp 35.000
3.
Penginapan
( 1 malam) : Rp
30.000
4.
Tiket
masuk :
Rp 7.500
5.
Bis
Cemoro Lawang – Probolinggo :
Rp 35.000
6.
Terminal
Probolinggo – Stasiun Probolinggo :
Rp 3.500
7.
Stasiun
Probolinggo – Terminal Probolinggo :
Rp 3.500
8.
Bis
Probolinggo – Jogja :
Rp 65.000
Biaya Makan :
Tidak
dihitung, begitu laper dan ada makanan, ya makan. :D
Tips :
1. Bawa barang bawaan sesuai kebutuhan,
pakaian, perlengkapan mandi (kalau tahan dingin), dan handuk.
2. Bawa kamera/ handycam, buat merekam
keindahan Gunung Bromo.
3. Kalau tidak ingin jalan kaki, bisa
menggunakan jeep (450.000/6 orang) (mengelilingi objek wisata di sekitar Gunung
Bromo) atau menggunakan ojek (nego).
4. Kalau ingin lebih menghemat
pengeluaran, bisa membawa sleeping bag
dan kemudian tidur di mesjid.
5. Untuk urusan penginapan, lebih baik
mencari sendiri, dengan artian jangan biarkan supir bis yang memilihkan,
umumnya tarif penginapan akan dinaikkan.
6. Kalai naik KA, alangkah baiknya
langsung beli tiket PP. Jika cuaca di Gunung Bromo baik, sehari sudah cukup
untuk mengelilingi keseluruhan objek wisata.
7. Biaya transportasi diatas, tidak bisa
dijadikan patokan apabila transportasi menggunakan kendaraan pribadi :D :P.
ini masnya yang ketemu kita di Bromo itu kan ? kita anak UNY mas hehe
BalasHapus